Cinta romantis dapat dijabarkan sebagai sesuatu yang imajinatif dan tidak praktis, misterius, dan fiktif. Cinta romantis merangsang eksitasi petualangan emosional, pemenuhan idealisme dan sering dilandasi keterikatan emosional yang bisa berlanjut sepanjang hidup atau hanya berlangsung dalam waktu singkat.
Cinta romantis diterima secara sosial, walaupun sering terasa tidak lebih dari sebagai suatu delusi dan keadaan tergila-gila. Padahal, cinta romantis hanya sekadar merupakan "tipuan", karena ditandai sesuatu yang menjanjikan lebih daripada apa yang sebenarnya bisa diberikan.
Umumnya orang cenderung memberikan reaksi terhadap situasi tersebut dengan dua cara yaitu: (a) penghayatan perasaan atau emosi secara menyeluruh. Penghayatan perasaan tersebut didominasi oleh "bagaimana saya merasakan tentang dirimu" sebagai suatu reaksi antara satu orang dengan orang lain. (b) Pelibatan aspek emosi lebih merupakan reaksi emosi primer yang terkait dengan "bagaimana sa-ya merasa tentang diriku".
Jadi, intensitas penghayatan perasaan dihubungkan dengan seseorang yang ada di luar dirinya yang mampu menghin-darkan orang tersebut dari perasaan kekosongan yang ada dalam dirinya sendiri. Dapat disimpulkan, fokus cinta romantis ada pada diri orang lain, dalam hal ini pasangannya.
Cinta romantis terdiri dari elemen emosional kuat yang berasal dari fusi antara satu orang dengan orang lain, sehingga hanya sedikit makna yang menyertakan kapan perasaan itu mulai berkembang dan kapan perasaan itu berakhir karena tidak adanya ruang atau jarak serta waktu antara diri sendiri dengan orang yang dicintainya.
Rasa sakit/terluka pada salah seorang pasangan merupakan rasa sakit/terluka pada diri sendiri. Setiap hal dinilai dan dimaknakan personal, misalnya "apabila kamu pergi ke bioskop sendiri, maka itu berarti kamu meninggalkan diri saya". Jadi, dalam hal ini terbentuk perasaan kebersamaan dan saling memiliki satu sama lain secara sempurna antara dua orang yang terlibat cinta romantis.
Di balik perasaan romantis itu terkandung fusi dari ketakutan akan kesepian dan kegagalan dalam penerimaan diri seseorang. Makin rendah rasa percaya diri seseorang, semakin tinggi harapan orang itu agar orang lain sama seperti dirinya. Semakin tinggi pula upayanya mencoba dan ber-harap mendapatkan pemuasan kebutuhan akan keyakinan diri agar dapat dibangkitkan keyakinan diri orang yang dicintainya. Kondisi cinta romantis betul-betul merupakan harapan yang tidak realistis.
Harapan ada pada pasangan yang menjalin cinta kasih romantis justru cenderung mendapatkan kekecewaan yang lebih besar di kemudian hari. Erich Fromm (1956) berpendapat, cinta romantis merupakan bukti dari kondisi rasa kesepian yang sangat mendalam. Segera setelah penerimaan cinta romantis menurun atau bahkan hilang, maka pola dasar proses berpikir, perasaan, dan perilaku realistis akan muncul kembali.
Biasanya topik rasa tanggung jawab yang mengikuti ikatan kasih yang realistis menjadi berbaur dengan kondisi saling menyalahkan pada dua orang yang sebelumnya terlibat cinta romantis. Kondisi itu diikuti dengan runtuhnya harapan awal yang tidak realistis, untuk kemudian menghadapi kenyataan yang ditandai argumen, ketidaksepakatan terhadap rasa tanggung jawab masing-masing pasangan, peningkatan rasa marah yang akumulatif, dan perlahan tetapi pasti kedua belah pihak akhirnya akan merasa terluka. Kenyataan lanjut yang dihadapi pasangan adalah interrelasi mereka akhirnya menjadi kabur dan tidak jelas bagi kedua belah pihak.
Transisi dari cinta romantis ke cinta sejati
Cinta romantisme merupakan bagian dari masa muda yang penuh gairah. Serentak setelah kedua pasangan tumbuh dan bertambah usia, maka iklim emosional dalam diri kedua pasangan akan ditandai oleh apa yang mereka inginkan, apa yang mereka harapkan, hasrat apa yang ada pada diri mereka, serta bagaimana mereka menghayati diri mereka secara emosional.
Afeksi yang lembut dan kesetiaan menjadi aspek dari cinta yang penuh kesabaran, yang secara simultan, dengan disertai atau tidak disertai nilai-nilai romantisme. Serentak setelah cinta romantis sirna, maka cinta romantis akan digantikan dengan upaya-upaya untuk menyimpannya dengan cara "saya dapat merasakan bahwa saat ini saya harus menempatkan permasalahan-permasalahan yang harus diatasi dalam hubungan saya dengan pasangan saya".
Dalam pada itu pasangan akan berupaya membantu istri/suaminya untuk bang-kit dari perasaan terpuruk atau pasangan ikut merasakan keterpurukan suami/istrinya. Dengan cara tersebut maka terjadi proses peningkatan pengaruh kendali secara obyektif. Maka berkembanglah rasa cinta sejati yang merupakan upaya salah satu pasangan untuk tetap memberikan pengaruh pada suami/istrinya, baik dalam imajinasi, keingintahuan satu sama lain, serta kecenderungan satu sama lain.
Dengan demikian maka relasi yang terjalin antarkedua pasangan akan terbentuk berdasar pada pola-pola kesabaran kedua belah pihak dan rasa toleransi diantara kedua belah pihak yang semakin hari semakin kuat. Masa transisi dari fase cinta romantis ke cinta sejati merupakan masa tersulit bagi kedua pasangan.
Cinta sejati
Untuk beberapa pasangan, matinya cinta romantis identik dengan hilangnya cinta kasih secara menyeluruh. Jadi, apabila kedua pasangan mampu mengatasi kesulitan dalam masa transisi, maka mereka akan mampu menjaga relasi yang ditandai cinta kasih sejati.
Cinta sejati menyertakan rasa hormat di antara pasangan, kadar toleransi antarpasangan yang juga cukup bagi penerimaan kekurangan dan kelebihan masing-masing pasangan, dan libatan afeksi yang bukan merupakan manifestasi rasa kesepian yang mendalam pada diri kedua pasangan. Cinta tidak lagi merupakan eksistensi dari entitas yang diskrit, namun merupakan atribut keikatan emosional yang direpresentasikan dalam bentuk khusus keikatan emosi yang sempurna.
Ikatan emosional ini pun bukan merupakan benda konkret, namun lebih bersifat sikap yang mengandung unsur kualitas. Cinta sejati lebih merupakan emosi dan bukan perasaan. Cinta hakiki juga bukan terpusat dalam diri salah satu pasangan (self-centered) atau terpusat pada pasangan (other-focused), namun terdiri dari penghargaan yang amat sangat terhadap nilai diri dalam memberi.
Cinta sejati tidak berarti menyerahkan diri sepenuhnya dan bukan merupakan martir atau alat mengabdi kepada orang lain. Juga tidak berarti merupakan latar untuk menyenangkan orang lain, dalam hal ini menyenangkan suami/istri, namun cinta sejati datang dari penerimaan tulus serta penghargaan untuk pasangan sesuai cara yang dimiliki pasangannya.
Jadi, tidak juga sebagai self love. Pasangan harus mengembangkan sikap dan filosofi bahwa segala hal tidak ada artinya namun yang paling berarti adalah keikatan emosional di antara mereka. Seni dari cinta sejati menginginkan disiplin, konsentrasi, kesabaran, yang juga menuntut kerendahan hati, keberanian, kesetiaan dengan berbagai alasan.
Cinta sejati akan menjadi aktivitas tidak melelahkan dan tidak berakhir (Erich Fromm, 1956). Ia merupakan awal sirnanya cinta romantis yang kabur, di mana seseorang merasa kosong, sendirian, tidak berpengharapan, dan merasa tak mampu.
Seseorang yang menghendaki cinta sejati secara bertahap harus belajar bangkit dari perasaan di atas sampai mereka belajar dan mengalami kebijaksanaan sikap terhadap kehidupan dalam diri dan siap berada pada masa cinta sejati, karena cinta sejati memang tidak mungkin berkembang tanpa pengalaman kekosongan yang menjadi salah satu aspek cinta romantis.
Untuk itu mau tidak mau kedua pasangan perkawinan harus membuat definisi ulang tentang cinta yang terkait dengan relasi dengan menghargai aspek ruang dan waktu, baik bagi diri maupun bagi pasangannya, berupa kedekatan tanpa fusi, kebersamaan tanpa upaya berada di dalam kulit orang lain. Cinta romantis lebih dilandasi fusi dan ketidakrespekan masing-masing pasangan sebagai diri sendiri.
Mansur afandy
Islam Dapat Menjawab Semua Tantangan
-
Dalam rutinitas kehidupan saat ini terkadang saya melihat hidup yang sudah
tidak manusiawi lagi, atau orang menyebutnya jaman yang sudah gila.
Sebenarnya man...
13 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar